Mata Kuliah : Teori Organisasi Umum 1 #
Judul : Konflik
Dalam Organisasi
Dosen : Ira
Phajar Lestari
Kelas : 2 KA 07
Kelompok :
2
Anggota : Agung Putra D
(10110303)
Arya Amidika (11110148)
Deddy
Setiawan (11110735)
Endrow
Abdullah (12110367)
Hetty
Muliawati (13110304)
M Hasbi
ash shiddiqi (14110129)
M Aulia
Rahman (19110297)
Randi (15110622)
Unggul
Azhari Ramadhan (18110331)
BAB
I
PENDAHULUAN
Organisasi
merupakan suatu sistem terdiri dari komponen-komponen
(subsistem) yang saling berkaitan atau saling tergantung
(interdependence) satu sama lain dan dalam proses kerjasama untuk
mencapai tujuan tertentu. Sub-subsistem yang saling tergantung itu
adalah tujuan dan nilai-nilai (goals and values subsystem), teknikal
(technical subsystem), manajerial (managerial subsystem), psikososial
(psychosocial subsystem), dan subsistem struktur (structural
subsystem).
Dalam
proses interaksi antara suatu subsistem dengan subsistem lainnya
tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan
antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja
muncul, baik antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi.
Banyak faktor yang melatar - belakangi munculnya ketidakcocokan atau
ketegangan, antara lain: sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan
kepentingan, komunikasi yang “buruk”, perbedaan nilai, dan
sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya membawa
organisasi ke dalam suasana konflik. Agar organisasi dapat tampil
efektif, maka individu dan kelompok yang saling tergantung itu harus
menciptakan hubungan kerja yang saling mendukung satu sama lain,
menuju pencapaian tujuan organisasi.
Selain dapat
menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula
melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen
organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak
saling bekerjasama satu sama lain. Konflik dapat menjadi masalah yang
serius dalam setiap organisasi, tanpa peduli apapun bentuk dan
tingkat kompleksitas organisasi tersebut. Konflik tersebut mungkin
tidak membawa “kamatian” bagi organisasi, tetapi pasti dapat
menurunkan kinerja organisasi yang bersangkutan, jika konflik
tersebut dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
DEFINISI KONFLIK
Banyak
definisi tentang konflik yang diberikan oleh ahli manajemen. Hal ini
tergantung pada sudut tinjauan yang digunakan dan persepsi para ahli
tersebut tentang konflik dalam organisasi. Namun, di antara makna
makna yang berbeda itu nampak ada suatu kesepakatan, bahwa konflik
dilatarbelakangi oleh adanya ketidakcocokan atau perbedaan dalam hal
nilai, tujuan, status, dan budaya.
Konflik
yang ada di dalam organisasi biasanya timbul dalam organisasi sebagai
hasil adanya masalah-masalah komunikasi, hubungan pribadi, atau
struktur organisasi. Dengan demikian konflik dapat diartikan adalah
segala macam interaksi pertentangan atau antagonistik antara dua atau
lebih pihak. Konflik organisasi ( organizational conflict ) adalah
ketidak sesuaian antara dua atau lebih anggota – anggota atau
kelompok – kelompok organisasi yang timbul karena adanya kenyataan
bahwa mereka harus membagi sumber daya – sumber daya yang terbatas
atau kegiatan – kegiatan kerja dan atau karena kenyataan bahwa
mereka mempunyai perbedaan status, tujuan, nilai atau persepsi.
Konflik adalah suatu pertentangan yang terjadi antara apa yang
diharapkan oleh seseorang terhadap dirinya, orang lain, organisasi
dengan kenyataan apa yang diharapkannya.
Terlepas
dari faktor-faktor yang melatar belakanginya, konflik merupakan suatu
gejala dimana individu atau kelompok menunjukkan sikap atau perilaku
“bermusuhan” terhadap individu atau kelompok lain, sehingga
mempengaruhi kinerja dari salah satu atau semua pihak yang terlibat.
Keberadaan konflik dalam organisasi, ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari bahwa telah terjadi konflik di dalam organisasi, maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah terjadi konflik, maka konflik tersebut menjadi suatu kenyataan.
2.2
PANDANGAN TERHADAP KONFLIK
Terdapat
perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam kelompok atau
organisasi. Ada yang berpendapat bahwa konflik harus dihindari atau
dihilangkan, karena jika dibiarkan maka akan merugikan organisasi.
Berlawanan dengan ini, pendapat lain menyatakan bahwa jika konflik
dikelola sedemikian rupa maka konflik tersebut akan membawa
keuntungan bagi kelompok dan organisasi. Stoner dan Freeman menyebut
konflik tersebut sebagai konflik organisasional (organizational
conflict).
Pertentangan
pendapat ini oleh Robbins (1996:431) disebut sebagai the Conflict
Paradox, yaitu pandangan bahwa di satu sisi konflik dianggap dapat
meningkatkan kinerja kelompok, namun di sisi lain kebanyakan kelompok
dan organisasi berusaha untuk meminimalisir konflik. Dalam uraian di
bawah ini disajikan beberapa pandangan tentang konflik, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Robbins (1996:429).
Pandangan
Tradisional (The Traditional View).
Pandangan
ini menyatakan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dilihat sebagai
sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari. Untuk memperkuat
konotasi negatif ini, konflik disinonimkan dengan istilah violence,
destruction, dan irrationality. Pandangan ini konsisten dengan
sikap-sikap yang dominan mengenai perilaku kelompok dalam dasawarsa
1930-an dan 1940-an. Konflik dilihat sebagai suatu hasil
disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurangnya kepercayaan dan
keterbukaan di antara orang-orang, dan kegagalan
manajer
untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
Pandangan
Hubungan Manusia (The Human Relations View).
Pandangan ini
berargumen bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar terjadi dalam
semua kelompok dan
organisasi.
Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, karena itu
keberadaan konflik harus diterima
dan
dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi
peningkatan kinerja organisasi. Pandangan
ini
mendominasi teori konflik dari akhir dasawarsa 1940-an sampai
pertengahan 1970-an.
Pandangan
Interaksionis (The Interactionist View).
Pandangan
ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu asumsi
bahwa kelompok yang koperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung
menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh
karena itu, menurut aliran pemikiran ini, konflik perlu dipertahankan
pada tingkat minimun secara berkelanjutan, sehingga kelompok tetap
bersemangat (viable), kritis-diri (self-critical), dan kreatif.
Stoner dan Freeman (1989:392) membagi pandangan tentang konflik
menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (old view) dan pandangan
modern (current view).
2.3
JENIS-JENIS KONFLIK
Terdapat
berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang digunakan
untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik atas dasar
fungsinya, ada pembagian atas dasar pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik, dan sebagainya.
a.
Konflik Dilihat dari Fungsi
Berdasarkan
fungsinya, Robbins (1996:430) membagi konflik menjadi dua macam,
yaitu: konflik fungsional (Functional Conflict) dan konflik
disfungsional (Dysfunctional Conflict). Konflik fungsional adalah
konflik yang mendukung
pencapaian tujuan kelompok, dan memperbaiki kinerja kelompok.
Sedangkan konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi
pencapaian tujuan kelompok.
Menurut
Robbins, batas yang menentukan apakah suatu konflik fungsional atau
disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin
fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok
yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu tertentu,
tetapi tidak fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang membedakan
apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional adalah dampak
konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja
individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok,
walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik
tersebutdikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik
tersebut hanya memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja
kelompok maka konflik tersebut disfungsional.
b.
Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan
pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner dan Freeman
(1989:393) membagi konflik menjadi enam macam, yaitu:
1)
Konflik dalam diri individu (conflict within the individual). Konflik
ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang saling
bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas
kemampuannya.
2) Konflik antar-individu (conflict among individuals). Terjadi karena
perbedaan kepribadian (personality differences) antara individu yang
satu dengan individu yang lain.
3)
Konflik antara individu dan kelompok (conflict among individuals and
groups). Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma -
norma kelompok tempat ia bekerja.
4) Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among
groups in the same organization). Konflik ini terjadi karena masing -
masing kelompok memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing
berupaya untuk
mencapainya.
5) Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Konflik ini
terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan
dampak negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya, dalam perebutan
sumberdaya yang sama.
6)
Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict among
individuals in different organizations). Konflik ini terjadi sebagai
akibat sikap atau perilaku dari anggota suatu organisasi yang
berdampak negatif bagi anggota organisasi yang lain. Misalnya,
seorang manajer public relations yang menyatakan keberatan atas
pemberitaan yang dilansir seorang jurnalis.
c.
Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi
Winardi
(1992:174) membagi konflik menjadi empat macam, dilihat dari posisi
seseorang dalam struktur organisasi. Keempat jenis konflik tersebut
adalah sebagai berikut:
1)
Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang
memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya, antara
atasan dan bawahan.
2)
Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka yang
memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi.
Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar departemen yang
setingkat.
3) Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini
yang biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang
biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi.
4) Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban
lebih dari satu peran yang saling bertentangan. Di samping
klasifikasi tersebut di atas, ada juga klasifikasi lain, misalnya
yang dikemukakan oleh Schermerhorn, et al. (1982), yang membagi
konflik atas: substantive conflict, emotional conflict, constructive
conflict, dan destructive conflict.
2.4
SUMBER PENYEBAB TIMBULNYA KONFLIK
Menurut
Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi yang melatar -
belakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut
juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori,
yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
Komunikasi.
Komunikasi
yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalah - pahaman
antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu
hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran
informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi
merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi
anteseden untuk terciptanya konflik.
Struktur.
Istilah
struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup:
ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota
kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara
tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem
imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian
menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan
variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan
makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula
kemungkinan terjadinya konflik.
variabel
pribadi.
Karakteristik
kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan
(idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan
menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang
sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain,
merupakan sumber konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi
tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal
tersebut, maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi
konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan
(perceived conflict). Kemudian jika individu terlibat secara
emosional, dan mereka merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul
sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan
(felt conflict). Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan
dirasakan keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata,
jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku.
Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain,
serangan fisik, huru-hara, pemogokan, dan sebagainya.
Robbins
(1996), menggambarkan tahap-tahap lahirnya konflik, sebagaimana yang
diterangkan di atas, melalui gambar sebagaimana yang disajikan di
bawah ini (gambar 1).
Gambar
1: Proses Lahirnya Konflik
Sedangkan
proses timbulnya konflik, sebagaimana yang digambarkan oleh Robbins,
mirip dengan tahap-tahap konflik yang digambarkan oleh Schermerhorn,
et al. (1982:461), seperti yang disajikan di bawah ini (gambar 2)
Gambar
2 Tahap-Tahap Konflik
2.5
MENGELOLA KONFLIK DALAM ORGANISASI
Para
manajer menghabiskan banyak waktu dan energi untuk menangani konflik.
Upaya penanganan konflik sangat penting dilakukan, karena setiap
jenis perubahan dalam suatu organisasi cenderung mendatangkan
konflik. Sebagaimana saat ini, dalam rangka otonomi daerah, banyak
sekali perubahan institusional yang terjadi, yang tidak saja
berdampak pada perubahan struktur dan personalia, tetapi juga
berdampak pada terciptanya hubungan pribadi dan organisasional yang
berpotensi menimbulkan konflik. Di samping itu, jika konflik tidak
ditangani secara baik dan tuntas, maka akan mengganggu keseimbangan
sumberdaya, dan menegangkan hubungan antara orang-orang yang
terlibat. Menurut Gibson, et al. (1997), kegagalan dalam menangani
konflik dapat mengarah pada akibat yang mencelakakan. Konflik dapat
menghancurkan organisasi melalui penciptaan dinding pemisah di antara
rekan sekerja, menghasilkan kinerja yang buruk, dan bahkan
pengunduran diri.
Para
manajer organisasi publik harus menyadari bahwa karena konflik
disebabkan oleh faktor-faktor yang berlainan, maka model yang
digunakan dalam pengelolaan konflik juga berlainan, tergantung
keadaan. Memilih sebuah model pemecahan konflik yang cocok tergantung
pada beberapa faktor, termasuk alasan mengapa konflik terjadi, dan
hubungan khusus antara pimpinan dengan pihak yang terlibat konflik.
Menurut Greenhalgh (1999), efektivitas pimpinan organisasi dalam
menangani konflik tergantung pada seberapa baik mereka memahami
dinamika dasar dari konflik, dan apakah mereka dapat mengenali
hal-hal penting yang terdapat dalam konflik tersebut.
2.6
STRATEGI PENYELESAIAN KONFLIK
Model
Berikut ditujukan untuk menangani konflik disfungsional dalam
organisasi. Dalam model ini digambarkan lima gaya penanganan konflik
yang berbeda yang disajikan dalam bentuk tabel 2x2. Pada sumbu
vertikal menggambarkan sisi pemecahan masalah yang berorientasi pada
orang lain (concern for others), dan pada sumbu horizontal
menggambarkan sisi pemecahan masalah yang berorientasi pada diri
sendiri (concern for self). Kombinasi dari kedua variabel ini
menghasilkan lima gaya penanganan masalah yang berbeda, yaitu:
integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising.
Integrating
(Problem Solving).
Dalam gaya ini pihak-pihak yang berkepentingan secara bersama-sama
mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, kemudian mencari,
mempertimbangkan dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah.
Gaya ini cocok untuk memecahkan isu-isu kompleks yang disebabkan oleh
salah paham (misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk memecahkan
masalah yang terjadi karena sistem nilai yang berbeda. Kelemahan
utamanya adalah memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaian
masalah.
Obliging
(Smoothing).
Sesuai dengan posisinya dalam gambar di atas, seseorang yang bergaya
obliging lebih memusatkan perhatian pada upaya untuk memuaskan pihak
lain daripada diri sendiri. Gaya ini sering pula disebut smothing
(melicinkan), karena berupaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan
menekankan pada persamaan atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang
terlibat. Kekuatan strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong
terjadinya kerjasama. Kelemahannya, penyelesaian bersifat sementara
dan tidak menyentuh masalah pokok yang ingin dipecahkan.
Dominating
(Forcing).
Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian
terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk
menggunakan taktik “saya menang, kamu kalah”. Gaya ini sering
disebut memaksa (forcing) karena menggunakan legalitas formal dalam
menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok digunakan jika cara-cara yang
tidak populer hendak diterapkan dalam penyelesaian masalah, masalah
yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan waktu untuk mengambil
keputusan sudah mepet. Tetapi tidak cocok untuk menangani masalah
yang menghendaki partisipasi dari mereka yang terlibat. Kekuatan
utama gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang diperlukan.
Kelemahannya, sering menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hati
untuk menerima keputusan oleh mereka yang terlibat.
Avoiding.
Taktik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk menyelesaikan
masalah yang sepele atauremeh, atau jika biaya yang harus dikeluarkan
untuk konfrontasi jauh lebih besar daripada keuntungan yang akan
diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk menyelesaikan masalah - malasah
yang sulit atau “buruk”. Kekuatan dari strategi penghindaran
adalah jika kita menghadapi situasi yang membingungkan atau mendua
(ambiguous situations). Sedangkan kelemahannya, penyelesaian masalah
hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan pokok masalah.
Compromising.
Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara
seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang
lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi dan menerima
(give-and-take approach) dari pihak-pihak yang terlibat.Kompromi
cocok digunakan untuk menangani masalah yang melibatkan pihak-pihak
yang memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan yang sama.
Misalnya, dalam negosiasi kontrak antara buruh dan majikan. Kekuatan
utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak
ada pihak yang merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang
bersifat sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam
penyelesaian masalah.
BAB
III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN DAN SARAN
Sebagaimana
yang telah dijelaskan bahwa kualitas pelayanan publik dipengaruhi
oleh tingkat konflik yang ada dalam organisasi. Faktor - faktor yang
menjadi penentu tingginya kualitas pelayanan, misalnya: sikap
responsif dan
empatik dari para aparatur pemerintah akan sulit muncul jika di dalam
organisasi terdapat tingkat konflik yang tinggi atau sebaliknya
konflik yang terlalu rendah.
Sering
kita temukan dalam setiap organisasi tentang adanya sikap pro dan
kontra dalam memandang konflik. Ada pimpinan yang memandang konflik
secara negatif dan mencoba untuk menghilangkan segala jenis konflik
yang ada. Para pimpinan ini bersikeras bahwa konflik akan
memecah-belah organisasi dan menghambat terciptanya kinerja yang
optimal. Konflik memberikan indikasi tentang adanya suatu
ketidakberesan dalam organisasi, dan adanya prinsip-prinsip atau
aturanaturan yang tidak dilaksanakan dengan baik.
Pandangan
yang berbeda terhadap konflik beranggapan bahwa konflik tidak mungkin
dihindari. Semua bentuk ketidak - setujuan mengandung konflik, namun
hal itu tidak perlu menimbulkan pertengkaran yang hebat. Para
pimpinan yang setuju dengan pandangan ini berpendapat bahwa jika
pihak-pihak yang berkonflik bersikap Back
To Top dewasa
dan percaya diri, maka apapun masalah yang menjadi sumber konflik
akan dapat diselesaikan dengan baik. Mereka ini percaya bahwa kinerja
organisasi yang optimal memerlukan tingkat konflik yang optimal atau
moderat. Tanpa konflik, akan ada rasa tidak memerlukan perubahan, dan
perhatian tidak terfokus pada masalah. Karena itu yang dibutuhkan
adalah bagaimana mengelola konflik sehingga konflik tersebut dapat
dipertahankan pada tingkatan tertentu (optimal atau moderat) sehingga
menimbulkan situasi kondusif dalam organisasi. Dengan demikian
kualitas pelayanan yang diinginkan dapat tercapai.
REFERENSI
Gibson,
James L., et al., 1977. Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses. Alih
bahasa oleh Adriani. Jakarta: Binarupa Aksara.
Greenhalgh,
Leonard, 1999. “Menangani Konflik”. Dalam A.Dale Timpe, (Ed.),
Memimpin Manusia. Alih bahasa oleh Sofyan Cikmat. Jakarta:
PT.Gramedia.
URLS:
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/02/konflik-dalam-organisasi-3/
http://uny.ac.id
http://usu.ac.id
http://wikipedia.org
http://google.co.id
http://ocw.gunadarma.ac.id
http://staffsite.gunadarma.ac.id
0 comments:
Post a Comment