Tuesday, November 23, 2010

MAPPING THE SUBJECT - Associative Regression

Pernahkah kamu merasa bahwa sifat kamu sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar? Misalkan kamu sedang bersama keluarga maka kamu akan bersikap seperti salah satu diantara anggota keluarga kamu. Lalu jika sedang bersama teman-teman maka kamu akan merasa sifatmu menyerupai salah satu dari mereka.
Inilah yang disebut dengan “Associative Regression” atau “Revertigo”. Mungkin kamu jarang mendengar kata-kata ini. Karena setelah saya telusuri, memang kata-kata ini kurang begitu populer. Lalu pada tahun 2008 ketika kata revertigo ini ditayangkan di sebuah serial TV Amerika, maka semakin banyak orang yang menggunakan kata ini.
Seperti yang saya kutip dari Fortitude Magazine, Revertigo may not be a real world, but it's very real.
The term originated in the show “How I Met Your Mother”. I think Jason Segel’s character Marshall Eriksen can be credited for coining it. It means that when you come across somebody from your past, you revert to your old personality when you used to spend time with that person – e.g. adults who act juvenile in the presence of their siblings or parents. The lead character in the series, Ted Mosby, played by Josh Radnor, expressed doubts over the existence of the word (“It’s a stupid, made-up word with no meaning!”). Whether “revertigo” has, in fact, insinuated itself in the dictionary (the serious one; it’s definitely already making the rounds of urban dictionaries and other specialized word listings) — or if it ever will — remains to be seen. Nevertheless, it’s very real. There is probably a technical or official term for it in the field of psychology, but thanks to “revertigo’s” rise to fame, it will probably remain obscure.

Inti dari kutipan diatas menjelaskan tentang pengertian dari revertigo. Keadaan ketika kamu berhadapan dengan seseorang di masa lalu, maka pada saat itu kamu akan kembali ke kepribadian lama kamu ketika masih bersama dia. Seperti contohnya ketika kita bertemu dengan keluarga yang lebih tua seperti sepupu yang lebih tua atau nenek kita, maka kita akan bersikap lebih dewasa.
Pada kutipan diatas juga dijelaskan bahwa revertigo ini sendiri bukan lah kata-kata yang sebenarnya. Fenomena ini memang sudah terjadi sejak lama, tapi kita semua masih belum tahu kata apa yang tepat untuk menggambarkannya. Maka sejak dilontarkannya kata-kata ini dalam acara tersebut, kata inilah yang dipakai untuk menggambarkan fenomena tersebut. Kata revertigo ini pun mulai masuk ke Urban Dictionary. Dan tidak menutup kemungkinan akan masuk ke kamus resmi.
Di Urban Dictionary sendiri, ada beberapa definisi untuk revertigo.
  • When you see people from your past, you start acting like you did when you used to spend time with them. (i.e. you start acting like a 14-year-old when you unexpectedly run into your freshman year boyfriend at the grocery store).
  • brought on by being near a person or persons from your past, revertigo is when a person begins to act how they did at the time they knew said person(s).
  • When you're around someone from your past and you revert back to the person you were when you knew them.
  • a phenomenon where when you're around people from your past, you start behaving like them.
  • Dizzyingly inexplicable reversion to past behavior in the presence of a lost aquaintance once associated with the behavior. Going back in time, in personality.

Revertigo adalah bahasan yang menarik. Karena disini jelas sekali bahwa kepribadian manusia sangat dipengaruhi oleh kepribadian orang di sekitarnya. Seperti layaknya pepatah, “jika anda berteman dengan penjual parfum, maka anda ikut menjadi wangi

Sebelum membahas lebih jauh tentang revertigo, saya akan menjelaskan dulu definisi kepribadian.

Kepribadian
Istilah kepribadian merupakan terjemahan dari Bahasa Inggirs “personality”. Sedangkan istilah personality secara etimologis berasal dari Bahasa latin “person” (kedok) dan “personare” (menembus). Persona biasanya dipakai oleh para pemain sandiwara pada zaman kuno untuk memerankan suatu bentuk tingkah laku dan karakter pribadi tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan personare adalah bahwa para pemain sandiwara itu dengan melalui kedoknya berusaha menembus keluar untuk mengekspresikan suatu bentuk gambaran manusia tertentu. Misalnya: seorang pendiam, pemurung, periang, peramah, pemarah dan sebagainya. Jadi, persona itu bukan pribadi pemain itu sendiri, tetapi gambaran pribadi dari tipe manusia tertentu dengan mealui kedok yang dipakainya. Lalu bagaimanakah para pakar psikologi mendifinisikan kepribadian itu sendiri? Apakah aspek-aspek kepribadian itu? Lalu bagaimana kepribadian itu berkembang?

Pengertian
Kepribadian itu memiliki banyak arti, bahkan saking banyaknya boleh dikatakan jumlah definisi dan arti dari kepribadian adalah sejumlah orang yang menafsirkannya. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan dalam penyusunan teori, penelitian dan pengukurannya.<br />
MAY mengartikan keperibadian sebagai “Personalitiy is a social stimus value”. Artinya personality itu merupakan perangsang bagi orang lain. Jadi bagaimana orang lain bereaksi terhadap kita, itulah kepribadian kita.

McDougal dan kawan-kawannya berpendapat, bahwa kepribadian adalah “tingkatan sifat-sifat dimana biasanya sifat yang tinggi tingkatannya mempunyai pengaruh yang menentukan”.

Sigmund Freud memandang kepribadian sebagai suatu struktur yang terdiri dari tiga sistem yaitu Id, Ego dan Superego.

Dan tingkah laku, menurut Freud, tidak lain merupakan hasil dari konflik dan rekonsiliasi ketiga sistem kerpibadian tersebut.

Sedangkan Gordon W. Allport memberikan difinisi kepribadian sebagai berikut: “Kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem praktis psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan”.

Sedangkan menurut Wikipedia, Kepribadian adalah keseluruhan cara di mana seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain. Kepribadian paling sering dideskripsikan dalam istilah sifat yang bisa diukur yang ditunjukkan oleh seseorang.
Masih menurut Wikipedia, kepribadian ditentukan oleh berbagai faktor. Yang akan saya kupas disini adalah pengaruh dari faktor lingkungan.

Faktor lingkungan
Faktor lain yang memberi pengaruh cukup besar terhadap pembentukan karakter adalah lingkungan di mana seseorang tumbuh dan dibesarkan; norma dalam keluarga, teman, dan kelompok sosial; dan pengaruh-pengaruh lain yang seorang manusia dapat alami. Faktor lingkungan ini memiliki peran dalam membentuk kepribadian seseorang. Sebagai contoh, budaya membentuk norma, sikap, dan nilai yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan menghasilkan konsistensi seiring berjalannya waktu sehingga ideologi yang secara intens berakar di suatu kultur mungkin hanya memiliki sedikit pengaruh pada kultur yang lain. Misalnya, orang-orang Amerika Utara memiliki semangat ketekunan, keberhasilan, kompetisi, kebebasan, dan etika kerja Protestan yang terus tertanam dalam diri mereka melalui buku, sistem sekolah, keluarga, dan teman, sehingga orang-orang tersebut cenderung ambisius dan agresif bila dibandingkan dengan individu yang dibesarkan dalam budaya yang menekankan hidup bersama individu lain, kerja sama, serta memprioritaskan keluarga daripada pekerjaan dan karier.

Jika membahas lebih dalam tentang revertigo ini, maka kita bisa menghubungkan ke post saya sebelumnya yakni Homo Homini Socio. Disana membahas tentang betapa seorang manusia membutuhkan manusia lainnya. Dari mulai lahir, kita sudah membutuhkan orang lain. Seorang bayi tentu saja membutuhkan ibunya untuk memberi makan, minum, dan lain-lain. Sampai tua pun kita masih tetap membutuhkan orang lain. Yang saya coba jelaskan disini adalah, dimana kepribadian kita akan berubah seiring dengan peranan “orang lain” tersebut dalam hidup kita.

Pernahkah kamu mendengar seorang gadis kecil jika ditanya, “siapa idola kamu?” Maka dia akan menjawab lantang, “ibu!”. Ini tentu datang bukan tanpa sebab. Gadis kecil tersebut pastinya selalu memperhatikan kebiasaan-kebiasaan ibunya. Lalu ada sesuatu yang dia suka dari ibunya dan ini akan membuat dia mencoba bersikap seperti ibunya. Contohnya saat dia sedang menginginkan sesuatu, mungkin pada mulanya dia akan merengek pada ayahnya. Tapi lama-kelamaan dia akan berinisiatif. Dia bisa menilai bahwa ayahnya menyayangi ibunya, maka dari itu dia harus bisa bersikap seperti ibunya agar sang ayah mau menuruti kemauannya.

Keluarga adalah faktor penentu kepribadian yang paling dominan. Keluarga adalah faktor lingkungan pertama dan utama yang menentukan perkembangan kepribadian sekunder. Seorang individu yang dibesarkan di keluarga yang otoriter (keluarga militer), dimana cara mengungkapkan sikap dan perilaku ditentukan semata-mata oleh orang tuanya, tentu saja akan berbeda dengan individu yang dibesarkan di keluarga biasa atau keluarga yang lebih bebas.

Ada kemungkinan juga bahwa keluarga hanya benar-benar mempengaruhi kepribadian sekunder. Disini maksudnya adalah kepribadian primer seorang individu tersebut tidak hilang atau hanya tersembunyi saat dia sedang berada di sekitar keluarganya. Jadi ketika bersama keluarga, dia akan berkepribadian seperti A. Namun saat bersama teman-teman, dia akan berkepribadian seperti B. Inilah sebuah contoh revertigo yang nampak jelas.

Adakah efek samping dari revertigo? Mari kita mulai membahas dari efek positifnya.
Dalam suatu perkumpulan, kita akan lebih mudah diterima dalam perkumpulan tersebut jika kita memenuhi suatu kriteria. Biasanya perkumpulan adalah wadah dari beberapa individu yang memiliki suatu kemiripan, apakah itu kepribadian, motivasi, hobi, dan lain-lain. Dengan kata lain, saya menilai bahwa revertigo ini akan membuat kita lebih mudah diterima dalam pergaulan.
Revertigo juga bisa menjadi moment yang menyenangkan. Dimana kita mengenang masa-masa saat kita masih bersama orang tersebut.
Namun ada juga efek negatif dari revertigo. Revertigo ini tidak selalu melekat pada diri kita. Bisa saja, suatu waktu kepribadian primer kita menjadi dominan lalu revertigo menghilang. Contohnya adalah saat kita mengenal rekan kerja kita, sebut saja C. Karena dituntut oleh profesionalitas, C terlihat seperti pribadi yang disiplin, pekerja keras, dewasa, dan bertanggung jawab. Namun seiring berjalannya waktu kita mulai bisa melihat kepribadian asli dari si C, yakni ceroboh, pelupa, dan suka menyalahkan orang lain.

While revertigo can sometimes be a fun distraction, it can be stressful, too. For example, many people go through revertigal transformation when they visit their families for the holidays, and end up playing a sort of role in response to other family members. This can feel stifling, and can be annoying for spouses who may not be used to the reverted version of the people they love.

Kesimpulannya, revertigo mungkin memang bukan kata yang nyata. Tapi fenomena ini sangat nyata dan mungkin beberapa dari kita sering mengalaminya.

Sumber keseluruhan : http://kuliah.ownedbyicha.com

Thursday, November 18, 2010

MAPPING THE SUBJECT - KEDEWASAAN SESEORANG

Kapan kamu mulai merasa bahwa kamu sudah tidak pantas lagi merengek untuk meminta dibelikan sesuatu pada orang tuamu? Kapan kamu mulai merasa malu untuk bermanja-manja dengan orang tuamu didepan teman-teman? Kapan kamu mulai merasa memiliki tanggung jawab atas apa yang telah diperbuat? Kapan kamu mulai merasa harus berusaha sendiri untuk mendapatkan apa yang diinginkan? Mungkin saat itulah kamu mulai merasa dirimu menjadi dewasa.
Setiap hari kita berinteraksi dengan orang lain. Secara umur, dia lebih dewasa dari kita. Tetapi kenyataannya perilakunya jauh lebih “childish”. Dewasa, bagi sebagian orang termasuk saya, mungkin adalah sebuah kata yang kompleks. Saya sendiri mendefinisikan dewasa sebagai sebuah pilihan. Pilihan yang tidak dipaksakan untuk diambil, pilihan yang hanya datang ketika kita sudah siap. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dewasa adalah 1) sampai umur; akil balig (bukan kanak-kanak atau remaja lagi); (2) kematang (tt pikiran, pandangan, dsb).

Sebelum membahas tentang kedewasaan lebih jauh, saya akan mengutip teori Erikson tentang fase-fase kehidupan yang dilalui oleh seorang manusia dari mulai lahir sampai tua.

Meskipun kepribadian seseorang itu relatif konstan, namun dalam kenyataannya sering ditemukan bahwa perubahan kepribadian dapat dan mungkin terjadi, terutama dipengaruhi oleh faktor lingkungan dari pada faktor fisik. Erikson mengemukakan tahapan perkembangan kepribadian dengan kecenderungan yang bipolar:
  1. Masa bayi (infancy)
    ditandai adanya kecenderungan trust – mistrust. Perilaku bayi didasari oleh dorongan mempercayai atau tidak mempercayai orang-orang di sekitarnya. Dia sepenuhnya mempercayai orang tuanya, tetapi orang yang dianggap asing dia tidak akan mempercayainya. Oleh karena itu kadang-kadang bayi menangis bila di pangku oleh orang yang tidak dikenalnya. Ia bukan saja tidak percaya kepada orang-orang yang asing tetapi juga kepada benda asing, tempat asing, suara asing, perlakuan asing dan sebagainya. Kalau menghadapi situasi-situasi tersebut seringkali bayi menangis.
  2. Masa kanak-kanak awal (early childhood)
    ditandai adanya kecenderungan autonomy – shame, doubt. Pada masa ini sampai batas-batas tertentu anak sudah bisa berdiri sendiri, dalam arti duduk, berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong oleh orang tuanya, tetapi di pihak lain dia telah mulai memiliki rasa malu dan keraguan dalam berbuat, sehingga seringkali minta pertolongan atau persetujuan dari orang tuanya.
  3. Masa pra sekolah (Preschool Age)
    ditandai adanya kecenderungan initiative – guilty. Pada masa ini anak telah memiliki beberapa kecakapan, dengan kecakapan-kecakapan tersebut dia terdorong melakukan beberapa kegiatan, tetapi karena kemampuan anak tersebut masih terbatas adakalanya dia mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan dia memiliki perasaan bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak mau berinisatif atau berbuat.
  4. Masa Sekolah (School Age)
    ditandai adanya kecenderungan industry–inferiority. Sebagai kelanjutan dari perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di pihak lain karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya kadang-kadang dia menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan. Hambatan dan kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa rendah diri.
  5. Masa Remaja (adolescence)
    ditandai adanya kecenderungan identity – Identity Confusion. Sebagai persiapan ke arah kedewasaan didukung pula oleh kemampuan dan kecakapan-kecakapan yang dimilikinya dia berusaha untuk membentuk dan memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri yang khas dari dirinya. Dorongan membentuk dan memperlihatkan identitasdiri ini, pada para remaja sering sekali sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh lingkungannya sebagai penyimpangan atau kenakalan. Dorongan pembentukan identitas diri yang kuat di satu pihak, sering diimbangi oleh rasa setia kawan dan toleransi yang besar terhadap kelompok sebayanya. Di antara kelompok sebaya mereka mengadakan pembagian peran, dan seringkali mereka sangat patuh terhadap peran yang diberikan kepada masing-masing anggota.
  6. Masa Dewasa Awal (Young adulthood)
    ditandai adanya kecenderungan intimacy – isolation. Kalau pada masa sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok sebaya, namun pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai longgar. Mereka sudah mulai selektif, dia membina hubungan yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham. Jadi pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan yang lainnya.
  7. Masa Dewasa (Adulthood)
    ditandai adanya kecenderungan generativity-stagnation. Sesuai dengan namanya masa dewasa, pada tahap ini individu telah mencapai puncak dari perkembangan segala kemampuannya. Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak, sehingga perkembangan individu sangat pesat. Meskipun pengetahuan dan kecakapan individu sangat luas, tetapi dia tidak mungkin dapat menguasai segala macam ilmu dan kecakapan, sehingga tetap pengetahuan dan kecakapannya terbatas. Untuk mengerjakan atau mencapai hal– hal tertentu ia mengalami hambatan.
  8. Masa hari tua (Senescence)
    ditandai adanya kecenderungan ego integrity – despair. Pada masa ini individu telah memiliki kesatuan atau intregitas pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah menjadi milik pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu pihak digoyahkan oleh usianya yang mendekati akhir. Mungkin ia masih memiliki beberapa keinginan atau tujuan yang akan dicapainya tetapi karena faktor usia, hal itu sedikit sekali kemungkinan untuk dapat dicapai. Dalam situasi ini individu merasa putus asa. Dorongan untuk terus berprestasi masih ada, tetapi pengikisan kemampuan karena usia seringkali mematahkan dorongan tersebut, sehingga keputusasaan acapkali menghantuinya.

Ericson tidak merasa bahwa semua periode yang penting dalam bertambahnya perbuatan yang disengaja dan kemampuan yang lebih tinggi terjadi pada masa kritis secara berturut-turut. Ia menegaskan bahwa perkembangan psikologi terjadi karena tahapan-tahapan kritikal. Kritikal adalah karateristik saat membuat keputusan antara kemajuan dan kemunduran. Pada situasi seperti ini bisa saja terjadi perkembangan atau kegagalan, sehingga dapat mengakibatkan masa depan yang lebih baik atau lebih buruk, tetapi sebetulnya situasi tersebut dapat disusunkembali. Ericson percaya bahwa kepribadian masih dapat dibuat dan diubah pada masa dewasa.

Ingat keperibadian itu bisa berubah, entah itu ke arah yang psitif atau negatif, semakin matang atau malah mundur. Tentu yang kita inginkan adalah menjadi pribadi yang baik , baik itu di mata kita atau lebih-lebih di mata orang-orang banyak yang hidup berdampingan dengan kita.

Sekarang mari kita bahas tentang lebih dalam tentang kedewasaan menurut Erikson.
Fase yang sangat berperan penting dalam kedewasaan adalah fase remaja. Karena pada masa tersebut, seseorang mencapai identitas ego yang cukup baik. Bagi Erikson, masa ini adalah masa pubertas yang memacu harapan pada masa dewasa. Pada masa ini juga seseorang mulai mencapai puncak pencarian identitas egonya. Jadi masa ini akan sangat menentukan akan seperti apa kepribadian seseorang kelak. Maka dari itu fase ini disebut fase identity - identity confusion.
Fase yang selanjutnya adalah fase yang disebut dengan intimacy - isolation. Intimacy disini berarti menyatukan identitas diri sendiri dengan identitas orang lain tanpa harus kehilangan identitas diri sendiri. Intimacy disini pun membutuhkan isolasi karena setiap individu mempunyai kehidupan masing-masing. Fase ini terjadi sangat mencolok pada pasangan, rekan kerja, atau kerabat dekat.

Fase Generativitas VS Stagnasi
Erikson (1968) percaya bahwa orang dewasa tengah baya menghadapi persoalan hidup yang signifikan-generativitas vs stagnasi, adalah nama yang diberikan Erikson pada fase ketujuh dalam teori masa hidupnya. Generativitas mencangkup rencana-rencana orang dewasa yang mereka harap dapat dikerjakan guna meninggalkan warisan dirinya sendiri pada generasi selanjutnya.
Sebaliknya, stagnasi (disebut juga “penyerapan-diri”) berkembang ketika individu merasa bahwa mereka tidak melakukan apa-apa bagi generasi berikutnya. Orang dewasa tengah baya mengembangkan generativitas dengan beberapa cara yang berbeda (Kotre, 1984).
Melalui generativitas biologis, orang dewasa hamil dan melahirkan anak. Melalui generativitas parental (orang tua), orang dewasa memberikan asuhan dan bimbingan kepada anak-anak. Melalui generativitas kultural, orang dewasa menciptakan, merenovasi atau memelihara kebudayaan yang akhirnya bertahan. Dalam hal ini objek generatif adalah kebudayaan itu sendiri.

Melalui generativitas kerja, orang dewasa mengembangkan keahlian yang diturunkan kepada orang lain. Dalam hal ini, individu generaf adalah seseorang yang mempelajari keahlian.
Melalui generativitas, orang dewasa mempromosikan dan membimbing generasi berikutnya melalui aspek-aspek penting kehidupan seperti menjadi orang tua (parenting), memimpin, mengajar dan melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat (Mc Adams, 1990). Orang dewasa generatif mengembangkan warissan diri yang posif dan kemudian memberikannya sebagai hadiah pada generasi berikutnya.

Jika Erikson lebih menggolongkan dewasa terhadap umur, maka Marc dan Angel mengemukakan bahwa dewasa tidak diukur dari usia, melainkan kematangan emosional. Dua puluh ciri kedewasaan menurut Marc dan Angel:

  • Tumbuhnya kesadaran bahwa kematangan bukanlah suatu keadaan tetapi merupakan sebuah proses berkelanjutan dan secara terus menerus berupaya melakukan perbaikan dan peningkatan diri.
  • Memiliki kemampuan mengelola diri dari perasaan cemburu dan iri hati.
  • Memiliki kemampuan untuk mendengarkan dan mengevaluasi dari sudut pandang orang lain.
  • Memiliki kemampuan memelihara kesabaran dan fleksibilitas dalam kehidupan sehari-hari.
  • Memiliki kemampuan menerima fakta bahwa seseorang tidak selamanya dapat menjadi pemenang dan mau belajar dari berbagai kesalahan dan kekeliruan atas berbagai hasil yang telah dicapai.
  • Tidak berusaha menganalisis secara berlebihan atas hasil-hasil negatif yang diperolehnya, tetapi justru dapat memandangnya sebagai hal yang positif tentang keberadaan dirinya.
  • Memiliki kemampuan membedakan antara pengambilan keputusan rasional dengan dorongan emosionalnya (emotional impulse).
  • Memahami bahwa tidak akan ada kecakapan atau kemampuan tanpa adanya tindakan persiapan.
  • Memiliki kemampuan mengelola kesabaran dan kemarahan.
  • Memiliki kemampuan menjaga perasaan orang lain dalam benaknya dan berusaha membatasi sikap egois.
  • Memiliki kemampuan membedakan antara kebutuhan (needs) dengan keinginan (wants).
  • Memiliki kemampuan menampilkan keyakinan diri tanpa menunjukkan sikap arogan (sombong).
  • Memiliki kemampuan mengatasi setiap tekanan (pressure) dengan penuh kesabaran.
  • Berusaha memperoleh kepemilikan (ownership) dan bertanggungjawab atas setiap tindakan pribadi.
  • Mengelola ketakutan diri (manages personal fears)
  • Dapat melihat berbagai “bayangan abu-abu” diantara ekstrem hitam dan putih dalam setiap situasi.
  • Memiliki kemampuan menerima umpan balik negatif sebagai alat untuk perbaikan diri.
  • Memiliki kesadaran akan ketidakamanan diri dan harga diri.
  • Memiliki kemampuan memisahkan perasaan cinta dengan birahi sesaat.
  • Memahami bahwa komunikasi terbuka adalah kunci kemajuan.

Jika tadi kita sudah membahas kedewasaan menurut Erikson, Mark, dan Angel maka sekarang kita akan membahas kedewasaan menurut Arvan Pradiansyah.
Pertama, orang dewasa lebih melihat ke dalam (lebih dahulu), ketika ‘anak kecil’ lebih sering mengacu pada sesuatu di luar dirinya. Contoh mudahnya, ketika dihadapkan pada pertanyaan berikut, apa jawaban kita: Telat masuk kantor, siapa yang salah? Siapapun bisa menjawab dengan mudah: macet, ketika pilihan jawaban lain juga tersedia. Dengan mengambil tanggung jawab pribadi Anda bisa memilih untuk mengatakan: Saya tahu Jakarta macet, maka saya harus berangkat lebih pagi untuk dapat sampai di kantor tepat waktu. Orang dewasa mengambil tanggung jawab pribadi, ketika anak kecil mencari-cari kambing hitam atas kesulitan yang menimpanya.
Kedua, orang dewasa selalu memberi manfaat pada orang lain, ketika anak kecil selalu ingin mengambil manfaat (meminta hak) dari orang lain. Ilustrasinya, ketika seseorang telah berkerja dengan baik, maka dipromosikan adalah sebuah konsekwensi. Ingat bahwa, tidak ada orang yang ‘berhak’ untuk dipromosikan, yang ada adalah orang yang ‘pantas’ untuk dipromosikan. Dan yang sering kita temui, orang lebih banyak menuntut haknya, alih-alih menunjukkan kinerja yang dengannya pemenuhan hak itu menjadi suatu konsekwensi yang dapat ia terima.
Ketiga, orang dewasa memiliki pengendalian diri (sense of control) yang besar, sementara anak kecil lebih banyak dikendalikan orang lain (rangsangan luar). Pengendalian diri yang besar, ciri praktisnya dapat ditandai dengan adanya jarak antara stimulus dan respon. Ada proses mawas diri, melihat ke dalam dan kepada persoalannya, sebelum memberikan respon atas sesuatu.
Keempat, orang dewasa siap kalah (mengalah), sementara anak kecil selalu ingin menang dan tidak siap kalah.
Kelima, orang dewasa bisa membedakan masalah dengan orangnya, sementara anak kecil berlaku sebaliknya.

Sumber keseluruhan : http://kuliah.ownedbyicha.com

 

‏​‏​ ‏​‏ © All Rights Reserved | Something Baby: Design and Illustration by Emila Yusof